18 September 2013

Menjadi Suami dan Jalan Berlubang

Menjadi seorang suami bagi saya adalah sebuah pilihan, bukan yang sulit. Ini hanya soal tahu sama dengannya dari pilihan tersebut. Dengan menjadi suami maka anda akan memiliki (dimiliki) istri, bisa jadi dalam beberapa bulan atau tahun ada anak sebagai bentuk kepercayaan Tuhan pada manusia. Bila memilih untuk tidak menjadi suami maka sama dengannya juga sudah kita tentukan sendiri bukan? apapun itu.

Salah satu sama dengan yang saya dapatkan adalah menerima tanggung jawab sebagi suami. Mencari nafkah untuk istri dan anak saya kelak, melindungi dalam situasi tertentu dan menentukan arah kehidupan keluarga. Bukan fenomena baru karena hal ini telah berlangsung ribuan atau mungkin jutaan tahun. Inilah yang saya jalani hingga hari ini.

Dalam hal melindungi, saya berkesempatan untuk melakukannya kepada dua orang tercinta, istri saya dan anak saya yang masih didalam rahim emaknya. Sedari bangun tidur hingga mau tidur, terkadang didalam tidur atau tertidur juga. Termasuk ketika berada dijalan, antara rumah dan kantor istri atau sebaliknya. Statistik menunjukkan lebih banyak orang meninggal dalam kecelakaan lalu lintas daripada di medan perang apalagi cuma flu burung. Sebagai suami saya bertanggung jawab melindungi istri dan anak saya dari angka angka statistik tersebut.


Adakalanya terhampar sebuah keadaan dimana harus berhadapan dengan ancaman yang entah bagaimana muncul begitu saja. Terlambat sedikit, istri dan anak jadi korban. Saya di beri label lalai dan seakan dipaksa merenungkan kembali pilihan saya sebagai suami. Sama dengan yang ini rasanaya lebih bikin pusing. Sekeras apapun berusaha, sgenap ketrampilan dan kemampuan fokus saya kerahkan, seringkali tidak cukup untuk melindungi istri dan anak dalam rahim istri saya.

Setiap hari saya antar jemput istri menggunakan sepeda motor. Ada keyakinan bahwa aturan lalu lintas yang disusun ditujukan untuk keselamatan pengguna jalan, maka saya menaatinya karena saya ingin selamat bersama istri dan anak. Sepeda motor ini yang telah punya banyak jasa berasal dari jenis kebanyakan, seperti yang dimiliki masyarakat urban pada umumnya. Sebuah sepeda motor yang termasuk dalam himpunan kambing hitam kemacetan kota, martir di gang sempit dan korban ban ganda sebuah truk pasir serta banyak kisah heroik lain dari sebangsanya. Bukan sepeda motor sport ber-cc besar dengan suspensi handal menahan getaran.

Inilah kondisi setiap hari yang seakan menantang sebagai suami dan calon bapak. Disaat saya berusaha setengah mati mengantar istri dan anak yang sedang dikandungnya, setiap jengkal jalan yang dilalui menghadirkan gangguan kecil tapi selalau. Kalo itu lubang besar, sudah sangat pasti dihindari dang di ingat ingat posisinya untuk mengantisipasi jauh sebelum berhadapan. Bagaimana dengan aspal yang terkelupas, berlubang kecil-kecil dan dangkal, macam permukaan bulan, seperti kulit wajah anak SMP yang baru puber, Gemrindil.

Sang Istri tidak sambat, sang anak apalagi. Tapi dari cengkramannya pinggang kemeja menyiratkan bahwa dia hendak menguatkan diri untuk meredam getaran dari hasil gagal tersedianya jalan mulus untuk dilalui sepeda motor saya. Saya tidak berani meliuk liuk seperti berkendara jamak masih perjaka dulu. Takut istri saya malah pusing, ujung ujungnya kasihan anak kami kalo emaknya mual mual. Salah pemerintahnya kok juga bukan, hampir setiap hari dibelahan kota ini selalu ada perbaikan jalan. Mau menghujat hujan, tidak sedangkal itu.

Saya punya tanggung jawab melindungi istri saya dan anak yang sedang dikandung istri saya, dari bangun tidur hingga mau tidur termasuk ketika tidur dan itu juga termasuk di setiap jengkal jalan yang setiap setengah jengkalnya terkelupas dan berlubang dangkal.

No comments: